Minggu, 11 Maret 2012

Aspek Hukum dalam Ekonomi

Sumber Hukum Perusahaan. 

Sumber utama hukum perusahaan adalah Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau  Wetboek van Koophandel (WvK) istilah dalam bahasa Belanda. Selain itu, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) atau  Burgerlijk Wetboek (BW) juga menjadi sumber hukum perusahaan.

Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang menyatakan sebagai berikut : “Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab Undang-undang ini”. Dalam Kitab Undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Dagang berkedudukan sebagai hukum khusus  (lex specialis).  Segi hukum pada perusahaan, rumusan definisi perusahaan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan sebagai berikut : “Bahwa setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa saja yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang demikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktuwaktu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya”. Dalam rumusan definisi tersebut diatas, setiap unsur mengandung segi hukum yang diatur oleh Undang-undang. Segi hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 
a. Badan usaha. Setiap perusahaan mempunyai bentuk hukum yang diakui oleh Undang-undang. Bentuk hukum itu menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi. Bentuk hukum itu secara formal termuat dalam akta pendirian, atau surat izin usaha. 
b. Kegiatan dalam bidang ekonomi. Kegiatan tersebut harus  legal, artinya tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Kegiatan itu tidak dilakukan dengan cara melawan hukum. 
c. Terus-menerus.   Kegiatan itu dijalankan sebagai mata pencaharian, bukan  
sambilan. Dengan demikian, kegiatan itu dijalankan untuk jangka waktu lama, yang telah ditetapkan dalam akta pendirian atau surat izin usaha. Legalitas berjalannya perusahaan selama jangka waktu yang ditetapkan itu. 
d. Terang-terangan. Pengakuan dan pembenaran itu dilakukan oleh Pemerintah melalui perbuatan hukum pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian, penerbitan surat izin usaha, penerbitan surat izin tempat usaha, dan penerbitan sertifikat pendaftaran perusahaan. 
e. Keuntungan dan atau laba. Keuntungan dan atau laba ini harus diperoleh berdasarkan 
legalitas dan ketentuan Undang-undang, artinya bukan hasil yang diperoleh secara melawan hukum, pemerasan jasa karyawan, pajak yang tidak dibayarkan kepada Pemerintah. 
f. Pembukuan. Segi hukum bukan pada bentuk  pembukuan, melainkan pada kebenaran isi pembukuan dan kebenaran alat bukti pendukungnya, misalnya kuitansi, nota penerimaan, daftar barang.
Dengan demikian, bahwa hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan-perikatan itu ada yang bersumber dari perjanjian dan ada yang bersumber dari Undang-undang. Oleh karena itu, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata terhadap semua perjanjian dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan sebagai berikut :  “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”.  Bahwa semua perjanjian baik  yang bernama maupun yang tidak 
bernama tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam perikatan yang timbul dari perjanjian yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis). Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis).

Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata berjudul mengenai perikatan. Perikatan  (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian karena dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu mengenai perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad)  dan mengenai perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Perikatan yang dimaksudkan dalam Buku III Kitab Undangundang Hukum Perdata, ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu  dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur mengenai hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hakhak perbendaan). Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan-hubungan  hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek 
juga suatu benda. Dengan demikian, sifat hukum yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu selalu berupa tuntutmenuntut, maka isi Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini dinamakan hukum perutangan. Pihak  yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut Undang-undang dapat berupa : 
1. Menyerahkan suatu barang. 
2. Melakukan suatu perbuatan. 
3. Tidak melakukan suatu perbuatan.
Dengan demikian, hukum perikatan adalah yang mengatur akibat hukum yang disebut perikatan, yaitu suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masingmasing berdiri sendiri (zelfstandige rechtssubjecten),  yang menyebabkan pihak yang satu terhadap pihak lainnya berhak atas suatu prestasi, prestasi mana adalah menjadi kewajiban pihak  terakhir terhadap pihak pertama Oleh karena perikatan adalah hubungan hukum, dan hubungan hukum adalah salah satu dari akibat hukum. Akibat  hukum ini timbul karena adanya suatu kenyataan hukum (rechtsfeit). Sumber-sumber perikatan, oleh Undang-undang dijelaskan, bahwa suatu dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari Undangundang. Perikatan yang lahir dari Undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari Undang-undang dan yang lahir dari Undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang selanjutnya mengikuti perkembangannya, dapat lagi  dibagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum. Debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum disebut  wanprestasi  yang menyebabkan debitur digugat di Pengadilan. Dalam hukum berlaku suatu 
azas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, dengan demikian mengajukan gugatan ke Pengadilan.  
Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan hukum umum, sedang Kitab Undang-undang Hukum Dagang merupakan hukum perdata khusus. Oleh karena itu, hubungan antara kedua macam hukum ini seperti  genus (umum) dan  specialis  (khusus). Mengenai hubungan ini berlaku adagium (rechtsspreuk), azas hukum yang terkandung dalam kalimat pendek berisi padat. Lex specialis derogate lex generali (hukum khusus menghapus hukum umum).  Adagium  ini dirumuskan dalam Undang-undang sebagai tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut diatas. Bahwa hubungan antara Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang sebagai hukum umum dan hukum khusus dapat dibuktikan dari Pasal 1319, 1339, 1347 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 15, 396 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.  Perundang-undangan Republik Indonesia Yang Menjadi Sumber Hukum Perusahaan. Hukum perusahaan juga diatur dalam beberapa perundangundangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan perusahaan. Perundangundangan itu antara lain sebagai berikut : 
a. Undang-undang No. 15 Tahun 1952 Tentang Bursa. 
b. Undang-undang No. 33 dan 34 Tahun 1964 Tentang Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja. 
c. Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). 
d. Undang-undang No. 5 Tahun 1968 tentang Konvensi Washington mengenai Sengketa Modal Asing di Indonesia.e. Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). 
f. Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 
g. Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. 
h. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. 
i. Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Penyempurnaan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. 
j. Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Hak Paten. 
k. Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek. 
l. Lain-lain.
Pengertian Pailit. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan sudah ada Undang-undang Khusus sejak Tahun 1905 dengan diberlakukannya Staatsblad 1905 – 217 juncto Staatsblad 1906 – 348. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mengenal istilah kata-kata bangkrut.  Staatsblad  1905 – 127 dan  Staatsblad  1906 – 348 tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1998 tersebut adalah tentang Perubahan atas Undang-undang  tentang Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah pailit berasal dari kata Belanda failliet, yang mempunyai arti ganda,  yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata nama sifat. Kata failliet sendiri berasal dari kata Perancis. Faillite, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti  membayar, dalam bahasa Perancis disebut  le faille. Kata kerja  faillir berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail yang memiliki arti yang sama. Sehubungan pengucapan kata itu dalam bahasa Belanda adalah  faiyit, maka ada pula beberapa sarjana yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement sebagai kepalyitan. Di negaranegara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya untuk pengertian pailit dipergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. Kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak pernah tahu keadaan tidak mampu dari debitur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu  putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan Niaga, baik yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.  Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan, bahwa yang dimasudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh suatu Pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktifanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya. Namun demikian, pada umumnya bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditur. Dalam kamus hukum  Fockema Andreae disebutkan, kepailitan seorang debitur adalah keadaan yang ditetapkan  oleh Pengadilan bahwa debitur telah berhenti membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta kekayaan dan pendapatannya demi kepentingan semua kreditur di bawah pengawasan Pengadilan. Pendapat senada dikemukakan oleh, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio sebagai berikut, pailit berarti keadaan seorang debitur apabila telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Hakim guna menjamin  kepentingan bersama dari para krediturnya.Kepailitan adalah eksekusi masal yang ditetapkan dengan keputusan Hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan. Dalam hubungan ini dapat pula diberlakukan Pasal 1 ayat (1) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan), yang menyatakan : “Kepailitan adalah sita umum atas  semua kekayaan debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.  Dengan demikian, segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit ialah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Istilah berhenti membayar tersebut dalam Pasal 1  Undang-undang Kepailitan, tidak harus diartikan  (naar de letter), yakni si debitur berhenti untuk sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan  bahwa debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit, berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut.(Putusan Pengadilan Tinggi No. 171/Perd./ PTB, tanggal 31 Juli 1973). Dengan demikian, kepailitan mempunyai makna ketidakmampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Jika terjadi ketidakmampuan untuk membayar utang, maka salah satu solusi hukum yang dapat ditempuh baik  oleh debitur maupun kreditur melalui pranata hukum kepailitan.  Asas umum penyitaan secara masal dalam kepailitan yakni, dimana debitur tidak melunasi utangnya secara sukarela maka hartanya disita, semua kreditur mempunyai hak yang sama, tidak ada nomor urut kapan utang muncul. Maksud diadakannya penyitaan aset pihak yang berutang yaitu; menghindari adanya tindakan sendiri-sendiri dari para kreditur yang dapat merugikan kreditur lainnya, pembayaran utang debitur dapat dilakukan secara proporsional, tagihan terhadap utang debitur dapat dilakukan secara bersamaan, adanya pengawasan dari lembaga Peradilan, maka tagihan  terhadap utang debitur lebih mendapat kepastian hukum.
Dengan demikian, para kreditur  bergabung secara bersama-sama (concursus creditorium) dalam mengajukan gugatan kepada debitur. Dengan cara ini, maka kreditur secara bersama-sama akan memperoleh pelunasan utang tanpa ada yang didahulukan. Pelunasan utang dilakukan secara proporsional, berdasarkan perbandingan utang.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh  J. Djohansyah, prinsip umum Kepailitan  “Paritas Creditorum” artinya semua kreditur mempunyai hak yang sama atas pembayaran dari hasil kekayaan debitur pailit akan dibagikan secara proporsional menurut besarnya tagihan. Dapat diketahui, bahwa perlunya dilakukan penyitaan terhadap aset debitur agar pembayaran terhadap utang-utangnya dapat dilakukan secara tepat, adil bagi semua kreditur. 
Prosedur Permohonan Kepailitan. 
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah  pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya dalam Pasal  2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan disebutkan, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikit dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan Pasal ini dapat diketahui, bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitur ingin mengajukan permohonan pailit mempunyai :  
a. Dua atau lebih kreditur; dan 
b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo.
Dengan demikian, dalam Undang-undang Kepailitan tidak dijelaskan berapa jumlah utang minimal yang  harus ada sehingga dapat diajukan permohonan pailit. Di sini hanya dijelaskan utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian kreditur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Kepailitan disebutkan, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan, sedangkan pengertian debitur dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Kepailitan disebutkan, adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan di atas terlihat baik debitur maupun kreditur dapat mengajukan permohonan pailit. 
Permohonan kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, kepailitan dapat dimohonkan  apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur, dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 tersebut adalah utang pokok atau bunganya.  Sesuai dengan penjelasan atas  Pasal 2 ayat (1) dari Undang-undang Kepailitan, kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat indikasi kreditur maka masingmasing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Kepailitan. 
Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. 
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan penyitaan pailit, yaitu : 
1. Debitur. 
2. Kreditur atau para kreditur. 
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 
4. Bank Indonesia, dalam hal debitur adalah bank.
5. Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
6. Menteri Keuangan, dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara.

kesimpulan : Bahwa sesungguhnya pailit terjadi atas menyangkut harta kekayaan debitur bukan kepada orangnya. Untuk mepertahankan eksistensi perusahaan memang tidak ada salah mengajukan permohonan rehabilitasi pada pengadilan yang telah menyatakan putusan pailit tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar